|
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tasawuf islam merupakan bagian integral dari ajaran
srpitual Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-sunnah, lahir bersamaan
dengan lahirnya agama Islam itu sendiri. Namun tasawuf berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin
ilmu baru muncul pada abad kedua dan ketiga istilah tasawuf belum dikenal
dikalangan masyarakat muslim akan tetapi bukan berarti ajaran tasawuf belum ada
pada permulaan islam, ia sudah ada tapi tidak secara ekslisit sebagaimana
layaknya sebuah disiplin ilmu. Bila kita merujuk lebih jauh kebelakang tidak
hanya tasawuf yang tidak dikenal pada periode awal islam, disiplin ilmu yang
lainpun seperti fiqih, tauhid, tafsir, ilmu hadists belum dikenal pada masa
Rasulullah.
Melalui studi tasawuf ini seseorang dapat
mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkannya
dengan benar. Dari pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang
pandai mengendalikan dirinya pada saat berinteraksi dengan orang lain, atau
pada saat melakukan berbagai aktivitas dunia yang menuntut kejujuran,
keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan dan sebagainya.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam pembahasan makalah ini penulis menetapkan beberapa rumusan
masalah yang akan menjadi pokok bahasan yaitu:
1. Apakah pengertian tasawuf itu ?
2. Bagaimana asal-usul kata tasawuf ?
3. Bagaimana Esensi tasawuf ?
4. Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh tasawuf ?
C.
Tujuan
Masalah
Adapun tujuan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa pengertian tasawuf
2. Untuk mengetahui bagaimana asal-usul kata tasawuf
3. Untuk mengetahui agaimana Esensi tasawuf
4. Untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai oleh tasawuf
1
|
|
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf
Arti tasawuf dan asal
katanya menurut logat sebagaimana tersebut dalam bukuMempertajam Mata
Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang
diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif :
1.
Berasal
dari kata suffah (صفة)= segolongan sahabat-sahabat Nabi yang
menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para
sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa
beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu.
2.
Berasal
dari kata sūfatun (صوفة)= bulu binatang, sebab orang yang memasukitasawuf itu
memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang
indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang.
3.
Berasal
dari kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا)= bulu yang terlembut, dengan dimaksud
bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
Berasal
dari kata safa’ (صفا)= suci bersih, lawan kotor. Karena
orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih
lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan
yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah[1]
Pendapat tersebut di atas menjadi khilaf (perbedaan
pendapat) para ulama, bahkan ada pendapat tidak menerima arti tasawuf dari
makna logat atau asal kata. Menurut al-Syekh Abd. Wahid Yahya berkata: Banyak
perbedaan pendapat mengenai kata”sufi” dan telah ditetapkan ketentuan
yang bermacam-macam, tanpa ada satu pendapat yang lebih utama dari pendapat
lainnya kerena semua itu bisa diterima.
2
|
Dengan pendapat para ahli tasawuf tentang
arti tasawuf menurut bahasa tersebut di atas, dapatlah diambil
kesimpulan bahwa nama-nama dan istilah menurut bahasa adalah arti simbolik yang
bermakna kebersihan dan kesucian untuk senantisa berhubungan dengan Allah.
Untuk mencapai tingkat ma’rifat untuk menjadi manusia yang
berkualitas lagi kamil.
Dari sekian banyak defenisi yang
ditampilkan oleh para ahli tentang tasawuf, sangat sulit
mendefenisikannya secara lengkap karena masing-masing ahli mendefenisikan tasawuf hanya
dapat menyentuh salah satu sudutnya saja, sebagaimana dikemukakan oleh Anne
Marie Schimmel, seorang sejarahwan dan dosentasawuf pada Harvard
University[3]
sebagai contoh apa yang telah didefenisikan oleh Syekh al-Imam al-Qusyairi
dalam kitabnya Risālah al-Qusyairiyyah
المراعون
انفاسهم مع الله تعالي الحافظون قلوبهم عن طوارق الغفلة باسم التصوف
‘Orang-orang yang senantiasa mengawasi nafasnya
bersamaan dengan Allah Ta’ala. Orang-orang yang senantiasa memelihara hati atau
qalbunya dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan cara tersebut di atas
dinamakan tasawuf.
Menurut Abu Muhammad al-Jariri yang disebutkan dalam
kitab al-Risalah al-kusyairibeliau ditanya tentang tasawuf,
maka ia menjawa :
الدخول في كل خلق سني والخروج من كل خلق دني
‘Masuk dalam setiap moral yang luhur dan keluar dari
setiap moral yang rendah.
Menurut Abd al-Husain al-Nur memberikan batasan dalam
defenisi yang lain yaitu akhlak yang membentuk tasawuf :
التصوف الحرية والكرم وترك التكلف والسخاء
‘Tasawuf adalah kemerdekaan, kemurahan
tidak membebani diri serta dermawan.[4]
Dengan beberapa pengertian tasawuf tersebut
di atas menunjukkan bahwa hubungan Allah dengan manusia yang tak terpisah,
sampai merasuk dalam qalbusehingga manusia yang ber-tasawuf itu
selalu berada dalam daerah Ilahi yang qadim,karena
manusia dalam pengertian qalbu dan ruh, dapat dihubungkan
dengan Allah seperti firman Allah dalam hadis Qudsi :
قوله
تعالي في الحديث القدسي ما وسعني ارضي ولا سماءي ووسعني قلب عبد المؤمن
‘Allah berfirman dalam hadis Qudsi, sekiranya Aku,
diletakkan di bumi dan langit-Ku tidak mampu memuat Aku dan qalbu-nya
orang mukmin dapat memuat Aku[5]
Bahwa
hadis Qudsi tersebut menggambarkan tentang bumi dan langit tidak dapat secara
langsung dekat Allah swt. Bahkan andaikata Allah swt. Akan ditempatkan dan
diletakkan dalam bumi dan langit itu tidak akan sanggup membawa dan memuatnya,
akan tetapi sekiranya Allah swt. Akan ditempatkan dan diletakkan dalam qalbu-nya
orang mukmin, niscaya akan sanngup dan mampu memuatnya karena manusia itu lebih
tinggi martabatnya, dibandingkan dengan makhluk lainnya, setelah itu pula
manusia mempunyai nur (cahaya dari Allah) dengan demikian
mudah berhubungan, nur dengannur
B.
Asal
Usul Tasawuf
Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya
pengenalan tasawufsudah ada dalam kehidupan Nabi saw., sahabat, dan
tabi’in. Sebutan yang populer bagi tokoh agama sebelumnya adalah zāhid, ābid, dan nāsik,
namun term tasawuf baru dikenal secara luas di kawasan Islam
sejak penghujung abad kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an asketis (kesederhanaan)
atau para zāhid yang mengelompok di serambi masjid Madinah.
Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk
beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan
duniawi. Pola hidup ke-shaleh-an yang demikian merupakan awal
pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya.
Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan
fase pertama perkembangan tasawuf,[6]
yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan
akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan
keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada
dua Hijriah dan memasuki abad tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan
konkrit dari asketismeIslam ke sufisme. Fase ini dapat
disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan
sebutan zāhid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun
waktu ini, percakapan para zāhid sudah sampai pada persoalan
apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan
perbincangan tentang masalah teoritis lainnya.
Tindak lanjut dari
perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori tentang jenjang-jenjang
yang harus ditempun oleh seorang Sufi (al-maqāmat) serta
ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang sufi pada tingkat
tertentu (al-hāl). Demikian juga pada periode ini sudah mulai
berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat
metodenya sampai pada tingkat fana’ dan ijtihad.
Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulistasawuf, seperti
al-Muhāsibi (w. 243 H), al-Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid (w. 297 H)[7]
dan penulis lainya. Fase ini ditandai dengan munculnya dan berkembangnya ilmu
baru dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang
tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam keberagamaan.
Selama kurun waktu itutasawuf berkembang terus ke arah yang lebih
spesifik, seperti konsep intuisi, al-kasyf,dan dzawq[8]
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai
salah satu kultur ke-Islaman, nampaknya memperoleh infus atau
motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian memberikan
gambaran tentang tipe gerakan yang muncul.
Pertama: adalah karena corak kehidupan yang profan dan
hidup kepelesiran yang diperagakan oleh ummat Islam terutama para pembesar dan
para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling besar adalah sebagai reaksi
dari sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari kelompok elit dinasti penguasa
di istana. Profes tersamar ini mereka lakukan dengan gaya murni etis,
pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal. Tokoh populer yang dapat
mewakili aliran ini dapat ditunjuk Hasan al-Bahsri (w. 110 H) yang mempunyai
pengaruh kuat dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan khawf
– al-raja’, rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) dengan ajaran al-hubb ataumahabbah serta
Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H) dengan konsepsi al-syawq sebagai
ajarannya[9]
Nampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian
yang interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan,
eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan
alam sekitar.
Kedua: timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal
kepada radikalisme kaumkhawarij dan polarisasi politik yang
ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada masa itu, orang-orang yang
ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan ketenangan rohaniah, terpaksa
mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus
menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap
yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah yang dipelopori
oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H)[10]
Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya
kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok
ummat yang sengaja mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang
cenderung ekslusif dan kritis tehadap penguasa.
Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan
rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk
menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini
sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru, realitas baru
yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan
salju cinta.
Ketiga, tampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum
Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal
yang menyebabkan kehingan moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau
semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin kering
dan menyesakkan rūh al-dīn yang menyebabkan terputusnya
komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya.
Kondisi hukum dan teologis yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi
agama dalam agama, para zuhūdan tergugah untuk mencurahkan
perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu penggeseran seketismeke-shaleh-an
kepada tasawuf.[11]
Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai
ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang ditandai dengan dimulainya
unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengantasawuf. Ciri lain yang
penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaumorthodoks dengan
kelompok sufi berfaham ittihad pihak lain[12]
Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka
sekitar akhir abad ketiga Hijriah tampil al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid
(w. 297 H) menawarkan konsep-konseptasawuf yang kompromistis
antara sufisme dan orthodoksi. Tujuan gerakan ini
adalah untuk menjembatani atau bila dapat untuk mengintegrasikan antara
kesadaran mistik dengan syariat Islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah
lahirnya doktrin al-baqa’atau subsistensi sebagai imbangan dan
legalitas al-fana’.hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu,
doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan
kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’ah sebagai
suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapat sambutan luas dengan
tampilnya penulis-penulis tasawuftipologi ini, seperti al-Sarraj
dengan al-Luma,al-Kalabasi dengan al-Ta’arruf li Mazhāhib
Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risālah
Sesudah masanya ketiga sufi ini, muncul
jenis tasawuf yang berbeda, yaitutasawuf yang
merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil
pikir Ibnu Masarrah (w. 381 H) dengan konsepsinya ma’rifat sejati,
sebagai gabungan dari sufismedan teori emanasi Neo-
Platonisme. Gagasan ini, sesudah masa al-Gazali dikembangkan oleh
Suhrawardi al-Maqtūl (w. 578 H) dengan doktrin al-Isyrākiyah atauilluminasi.
Gerakan orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad lima
Hijriah memalui tokoh monumental al-Gazali (w. 503 H). Dengan upayanya mengikis
semua ajaran tasawuf yang menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil
rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapat tempat yang terhormat
dalam kesejahteraan pemikiran ummat Islam. Cara yang ditempuhnya untuk
menyelesaikan pertikaian itu, adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik berasal
dari orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima.
Sebab dalam kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar mereka mengakui
pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki,
tetapi kesatuan simbolistik[13]
Pendekatan yang dilakukan oleh al-Gazali, nampaknya bagi
satu pihak memberikan jaminan untuk mempetahankan prinsip bahwa Allah dan alam
ciptaan-Nya adalah dua hal yang berbeda, sehingga satu sama lain tidak mungkin
bersatu. Di pihak lain memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untuk
memasuki pengalaman-pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa kekhawatiran
dituduh kafir. Gambaran ini menunjukkan tasawuf sebagai ilmu
telah sampai ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai
dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitutasawuf sunni dan tasawuf filsafati[14]
C.
Esensi
Tasawuf
Ajaran tasawuf mengandung esensi etika
yang berlandaskan padapembangunan moral manusia. Berbicara pembangunan
moralitas,sebagaimana diketahui bersama bahwa dewasa ini peradaban dunia
tengahmengalami krisis moralitas, dimana banyak fenomena menunjukkankekerasan
dan kekejian yang dilakukan oleh manusia. Sehingga terjadidistorsi moral yang
menyebabkan kehancuran dan kerugian manusia itusendiri.
Pada konteks ini, tasawuf mampu
berfungsi sebagai terapi krisisspiritual yang berimbas pada distorsi moral
antara lain[15]
1.
Tasawuf
secara psikologis, merupakan hasil dari berbagai pengalaman spiritual dan
merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitasketuhanan
yang cenderung menjadi inovator dalam agama.
2.
Kehadiran Tuhan dalam bentuk mistis dapat menimbulkan
keyakinan yangsangat kuat.
3.
Dalam tasawuf, hubungan dengan Allah di jalin
atasdasar kecintaan.
Dengan kata lain, moralitas yang
menjadi inti ajaran tasawufmendorong manusia untuk memelihara dirinya dari menelantarkankebutuhan-kebutuhanspiritualitasnya.
Sebab,menelantarkan kebutuhan spiritualitas sangat bertentangan dengan tindakan
yang dikehendaki olehAllah SWT.
Permasalahan moralitas dalam tasawuf
dapat dijadikan sebagaisalah satu alternatif materi dalam proses dakwah, karena
memiliki tiga tujuan yaitu :
1.
Turut serta berbagi peran dalam
penyelamatankemanusiaan dari kondisi kebingungan sebagai akibat hilangnya
nilai-nilaispiritual.
2.
Memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang
aspekesoteris Islam terhadap manusia modern.
3.
Untuk memberikanpenegasan bahwa sesungguhnya
aspek esoteris Islam, yaitu tasawuf adalahjantung ajaran Islam.
Dengan mengaplikasikan ajaran tasawuf,
umat manusia dapatmencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan ini dapat
tercapaidengan maksimal tanpa harus meninggalkan atau mematikan yang satu untuk
mendapatkan yang lain. Tetapi dapat dicapai secara selaras danseimbang dengan
mengaplikasikan dan membumikan ajaran tasawufdalam kehidupan beragama,
bermasyarakat dan bernegara.
Tasawuf merupakan salah satu aspek
(esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya
komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf
sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai
ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu –ilmu keislaman
lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal
istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai
pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan
meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya
aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir
abad I dan permulaan abad II Hijriyyah. Imam Ghazali dalam an-Nusrah
an-Nabawiahnya mengatakan bahwa mendalami dunia tasawuf itu penting sekali.
Karena, selain Nabi, tidak ada satupun manusia yang bisa lepas dari penyakit
hati seperti riya, dengki, hasud dll. Dan, dalam pandangannya, tasawuf lah yang
bisa mengobati penyakit hati itu. Karena, tasawuf konsentrasi pada tiga hal
dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur\'an al-karim, tiga hal
tersebut yaitu:
1.
Pelalu melakukan kontrol diri, muraqabah dan
muhasabah.
2.
Selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt.
3.
Menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur,sabar,
syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas.
Melihat konsenstrasi bahasan tasawuf di atas, jelas sekali
bahwa tasawuf bagian dari Islam.
D.
Tujuan
Tasawuf
Secara umum, tujuan terpenting dari sufi ialah
agar berada sedekat mungkin dengan Allah[16]Akan
tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum,
terlihat adanya tiga sasaran “antara” dari tasawuf, yaitu :
1. Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek
ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan
pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada
keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada
umumnya bersifat praktis.
2. Tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah melalui
penyingkapan langsung atau metode al-Kasyf al-Hijab. Tasawuf jenis
ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang
diformulasikan secara sistimatis analitis.
Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem
pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian
garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungnan manusia dengan
Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan
itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan
kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga
terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makan dekat yang ketiga adalah
penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah menolong antara
manusia yang telah menyatu dalam iradat Tuhan[17]
Dari uraian singkat tentang tujuan sufisme ini,
terlihat ada keragaman tujuan itu. Namun dapat dirumuskan bahwa, tujuan akhir
dari sufisme adalah etika murni atau psikologi murni, dan atau
keduanya secara bersamaan, yaitu: (1) penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak
mutlak Allah, karena Dialah penggerak utama dari sermua kejadian di alam ini;
(2) penanggalan secara total semua keinginan pribadi dan melepaskan diri dari
sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan kehidupan duniawi(teresterial) yang
diistilahkan sebagai fana’ al-ma’asi dan baqa’
al-ta’ah; dan (3) peniadan kesadaran terhadap “diri sendiri” serta
pemusatan diri pada perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali
Dia. Ilāhi anta maksūdīy wa ridhāka mathlūbīy.
|
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata tasawuf mulai dipercakapkan
sebagai satu istilah sekitar akhir abab dua Hijriah yang dikatkan dengan salah
satu jenis pakaian kasar yang disebut shuffatau wool kasar. Namun
dasar-dasar tasawuf sudak ada sejak datangnya agama Islam. Hal
ini dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad saw. cara hidup beliau yang
kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabat. Selama periode Makkiyah,
kesadaran spiritual Rasullah saw.. adalah berdasarkan atas
pengalaman-pengalaman mistik yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan
dalam Aquran surah al-Najm: 12-13; surah al-Takwir:
Kalau dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai
upaya awal untuk mendefenisikan tasawuf, ternyata sulit untuk
menarik satu kesimpulan yang tepat. Kesulitan serupa ternyata dijumpai pula
pada pendefenisian tasawuf . kesulitan itu nampaknya
berpangkal pada esesnsi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah
yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan.
Sementara tujuan akhir tasawuf itu
sendiri adalah etika murni atau psikologi murni yang mencakup :
- Penyerahan diri sepenuhnya
kepada kehendak mutlak Allah.
- Penanggalan secara total
keinginan-keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek.
- Pemusatan pada perenungan
terhadap Tuhan, tiada yang dicari kecuali Dia.
B.
Saran
Disampaikan
kepada segenap pembaca, juga buat penulis secara pribadi, marilah kita bersama
sama senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan harapan selalu tetap
dalam iman dan Islam dan senantiasa dapat melaksanakan perintah perintah dan
menjauhi segala apa yang dilarangNya, Amin.
Kedua kalinya
mungkin pembaca menemukan salah tulis, salah prosedur penulisan maupun
kesalahan lain yang lepas dari pengamatan kami, mohon kiranya saran dan
kritikkannya, dengan tanda kutif bahwa saran dan kritik tersebut bertujuan
untuk membangun dan menyempurnakan makalah ini.
11
|
KAJIAN PUSTAKA
al-Hanif, Abu Jihaduddin Rifqi, Mempertajam Mata
Hati. t.t: Bintang Pelajar, 1990.
al-Jaeliy, Al-Syekh Abd al-Karim ibn Ibrahim, Insan
al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri wa al-Awā’il.Jilid II. Mesir: Syarikah
Matba’ah Mustafa- Babil Halabi wa Alādih, 1375 H.
Al-Muhāzib, al-Ri’āyah li al-Huqūq
al-Insān; al-Harraj, al-Tariq ilallah; al-Junaid,Dawa’ al-Aywah.
Ahsin, Islam, (Bandung:
Pustaka, 1984), 185.
Bahreisy , Salim, Tarjamah al-Hikmah, Cet.
V; Surabaya: Balai Buku, 1984).
Nicholson. The Mystic of Islam. London:
Keqan Paul Ltd., 1966.
Permadi, K, Pengantar Ilmu Tasawuf. Cet.
I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sahabuddin, Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut
Ulama Sufi Cet. II; Surabaya: Media Varia Ilmu, 1996.
Terimakasih atas kunjungannya semoga dapat membantu , Untuk file lengkap persi pdf silahkan download DISINI
[1]
Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif , Mempertajam Mata
Hati (t.t: Bintang Pelajar, 1990), 5.
[2] Sahabuddin, Metode
Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulama Sufi (Cet.II; Surabaya: Media
Varia Ilmu, 1996), 12
[3] K.
Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf (Cet. I; Jakarta: Rineka
Cipta, 1997), 31.
[4] Sahabuddin, Metode
, . . ., 13.
[5] Al-Syekh
Abd al-Karim ibn Ibrahim al-Jaeliy, Insān al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri
wa al-Awā’il , jilid II (Mesir:, 1375 H), 25.
[6]. Rivay
Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. I;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 36.
[7] Al-Muhāzib, al-Ri’āyah
li al-Huqūq al-Insān; al-Harraj, al-Tariq ilallah; al-Junaid,Dawa’
al-Aywah.
[8] Ibit, 37
[9] Nicholson, The
Mystic of Islam (London: Keqan paul Ltd., 1966),. 4..
[11] Rivay
Siregar, Tasawuf , . . .,39.
[12] Ahsin, Islam,
. . ., 186.
[13] Ibit,
187
[14] Rivay
Siregar, Tasawuf, . . ., 43.
[15] http://agusnadi75.mywapblog.com/esensi-tasawuf.xhtml/diakses2015-04-27
[16] Salim
Bahreisy , Tarjamah al-Hikmah (Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984),
6.
[17] Rivay
Siregar, Tasawuf, . . .., 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar